Minggu, 23 September 2018

MAKALAH NUTRISI TERNAK UNGGAS TINGKAH LAKU MAKAN PADA AYAM KAMPUNG


MAKALAH
NUTRISI TERNAK UNGGAS
TINGKAH LAKU MAKAN PADA AYAM KAMPUNG




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNya,sehingga penulis dapat menyusun makalah Nutrisi Ternak Unggas tentang Tingkah Laku Makan pada Ayam Kampung
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan di masa mendatang. Semoga laporan mingguan ini bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.


Jambi,  Oktober  2016
Penulis




DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................              i
DAFTAR ISI...............................................................................................             ii
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................             1
 1.1. Latar Belakang...............................................................................             1
       1.2. Rumusan Masalah..........................................................................             2
       1.3. Tujuan dan Manfaat.......................................................................             2
BAB II. PEMBAHASAN ..........................................................................             3
..... 2.1. Karakteristik Ayam Kampung..........................................................           3
..... 2.2. Tingkah laku makan ayam  kampung...............................................            4
BAB III. PENUTUP...................................................................................             7
3.1. Kesimpulan.....................................................................................             7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................              



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga.
Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004a), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004b).
Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu awal (0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005; Sapuri, 2006).Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Dalam hal tersebut dapat dikatakan bahwa ayam kampung memiliki tingkah laku makan yang berbeda dengan ayam lain.


1.2  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada tingkah laku makan ayam kampung  yaitu:
1.      Bagaimana karakteristik ayam kampung ( Buras)?
2.      Bagaimana tingkah laku makan dari ayam kampung?

1.3  Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat pada pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui jenis dan tingkah laku makan ayam kampung( Buras).






BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Karakteristik Ayam Kampung
Ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam hutan merah yang telah berhasil dijinakkan. Akibat dari proses evolusi dan domestikasi, maka terciptalah ayam kampung yang telah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1991). Penyebaran ayam kampung hampir merata di seluruh pelosok tanah air.
Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetiknya. Disamping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 1998).
Candrawati (1999) mendapatkan kebutuhan hidup pokok ayam kampung 0 – 8 minggu adalah 103.96 kkal/W0.75 dan kebutuhan protein untuk hidup adalah 4.28 g/W0.75/ hari. Sutama (1991) menyatakan bahwa ayam kampung pada masa pertumbuhan dapat diberikan pakan yang mengandung energi termetabolis sebanyak 2700 – 2900 kkal dengan protein lebih besar atau sama dengan 18%. Ayam buras yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa kelamin pada umur 6 -7 bulan dengan bobot badan 1.4 – 1.6 kg ( Supraptini, 1985 ). Ayam buras sebagai ayam potong biasanya dipotong pada umur 4 – 6 bulan. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang dipelihara secara tradisional dan intensif, pada umur yang sama mencapai 1.435,5 g. Aisjah dan Rahmat (1989) menyatakan pertambahan bobot badan anak ayam buras yang dipelihara intensif rata rata 373,4 g/hari dan yang dipelihara secara ekstensif adalah 270,67 g/hari. Rendahnya pertambahan bobot badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, karena kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan.
Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah pakan. Hafez dan Dryer (1969) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hereditas, pakan dan kondisi lingkungan. Penurunan bobot badan akan terjadi pada ternak pada fase pertumbuhan bila diberikan pakan dengan kandungan nutrisi yang rendah. Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak ayam kampung akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila mendapat zat zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya.

2.2.            Tingkah Laku Ayam Kampung

Ahli ethologi secara tradisional telah melakukan studi observasi yang dirancang untuk memastikan pentingnya evolusi tingkah laku pada hewan. Ethologi kemudian berkembang pada konsep yang menekankan pemakaian prinsip ethologic pada bidang manajemen dan kesejahteraan spesies yang penting secara ekonomi, seperti unggas misalnya. Studi tingkah laku hewan dirancang sedemikian rupa, karena sedemikian kompleksnya penyebab dan ekspresi tingkah laku pada hewan. Domestikasi hewan pertanian dan sejenis tergantung pada pengertian terhadap tingkah laku hewan yang memungkinkan manusia untuk mengeksploitasi tingkah laku tersebut untuk kepentingan manusia (Hale, 1969, dalam Mench, 1991).
Hewan bertingkah laku dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungan, di mana faktor genetik dan lingkungan terlibat di dalamnya. Lingkungan sekitar mendorong hewan bertingkah laku untuk menyesuaikan diri dan bahkan terjadi pula penyesuaian hereditas. Implikasinya, jenis atau spesies hewan mempengaruhi reaksi dalam beradaptasi dengan lingkungannya (Curtis, 1983).
Pola tingkah laku merupakan perilaku yang terorganisir dengan fungsi tertentu, dapat berupa aksi tunggal atau aksi berurutan yang terintegrasi dan biasanya muncul sebagai respon terhadap stimulus dari lingkungannya. Pola tingkah laku dasar (Basic Behaviour System) pada unggas terdiri dari 7-9 macam. Tingkah laku dasar itu adalah : Tingkah laku ingestif adalah perilaku makan dan minum, tinmgkah laku eliminative (mengeluarkan ekskreta), tingkah laku seksual, tingkah laku social, tingkah laku care and giving, tingkah laku agonistic (memepertahankan diri), tingkah laku allelomimetik (menirukan), tingkah laku shelter seeking (mencari tempat berlindung), tingkah laku investigative (keingintahuan mengeksplorasi lingkungan), Setiap spesies memiliki karakteristik tersendiri dalam memasukkan pakan ke dalam yubuhnya. Anak ayam memilih remahan / crumble saat baru menetas, dan mulai menyukai bentuk pellet setelah dewasa (Curtis, 1983; Ensminger, 1992).
Curtis (1983) menyatakan, meski mengalami domestikasi pola tingkah laku unggas tidak jauh beda dengan dari pola tingkah laku nenek moyangnya. Terlihat jelas pada perilaku mengais pakan (feed seeking), mematuk matuk bulu (feather pecking), Ayam mampu belajar dari pengalaman bila dilatih secara tetap dan berulang kali. Bunyi bunyian tertentu, dapat dipakai sebagai sinyal waktu makan telah tiba. Pengetahuan dan ketrampilan ini tidak secara otomatis diturunkan pada generasi berikutnya. Hal yeng perlu mendapat perhatian dalam upaya domestikasi adalah siklus tingkah laku rutin, tingkah laku sosial dan tingkah laku genetis.  
Hampir semua tingkah laku adalah adaptif. Tingkah laku memungkinkan hewan untuk memenuhi tuntutan tingkat tingkat organisasi biologis di bawah organisme tersebut (system organ, organ-organ, jaringan dan sel) dan untuk menyesuaikan tingkat tingkat biologis di atas organism tersebut ( kelompo social, spesies, komunitas, dan ekosistem), dan juga menyesuaikan pada lingkungan ambiennya (suhu, kelembaban, pengaturan ruang, pakan, air dan lainnya).
Ayam mempunyai tingkah laku yang lebih baik untuk domestikasi disbanding hewanpertanian lainnya. Domestikasi adalah proses dimanis di mana hewan secara kontinyu beradaptasi dengan lingkungan buatan ( Siegel, 1970). Ukuran-ukuran tingkah laku, fisiologi dan patologi merupakan indikator yang sama pentingya untuk kesejahteraan dan adaptabilitas.  
Keberhasilan peternakan ayam ditentukan oleh tiga hal yaitu breeding, feeding dan manajement. Program manajemen di sini adalah masalah yang berkaitan dengan tatalaksana kandang, pencahayaan, perawatan, pemeliharaan kesehatan, pemberian pakan, pemasaran, dan lain-lain. Masalah utama pada peternakan ayam berskala rumah tangga adalah keterbatasan lahan dan kualitas pemeliharaan yang cenderung mengganggu kualitas kesehatan masyarakat.
Ayam akan makan pada jam-jam dingin dan tidak makan selama keadaan panas, karena kebutuhan energi yang lebih tinggi. Proses homeostatis ditandai dengan perubahan sikap ayam pada suhu tinggi yang cenderung menurunkan konsumsi pakan namun dikompensasi dengan peningkatan konsumsi minum (Sturkie, 1965).
Hasil penelitian Sulistyoningsih (2004) dalam thesisnya yang menyatakan, ayam yang dipelihara di kandang dengan suhu rendah menggunakan waktu lebih banyak untuk makan sebesar 14,94 % daripada kontrol. Temperatur yang panas menyebabkan ayam menggunakan waktu untuk makan berkurang sebesar 7,79 % dibanding kontrol. North dan Bell (1990), menyatakan kenaikan suhu tubuh seiring dengan kenaikan suhu lingkungan akan menyebabkan ayam melakukan penyesuaian untuk menjaga suhu tubuh tetap normal, yaitu dengan cara mengurangi konsumsi pakan, sehingga dapat menurunkan pertumbuhan.
Lingkungan suhu yang panas hewan akan mengurangi kecepatan metabolisme dengan menurunkan konsumsi pakan. Penambahan panas dari metabolisme tubuhnya akan menyebabkan hipothamus merangsang pusat kenyang. Pada kondisi dingin, kegiatan makan akan berlangsung terus sampai saluran pencernaan penuh sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian suhu berpengaruh sangat nyata terhadap tingkah laku makan.







BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah mengenai tingkah laku makan ayam kampung adalah bahwa kenaikan suhu tubuh seiring dengan kenaikan suhu lingkungan akan menyebabkan ayam melakukan penyesuaian untuk menjaga suhu tubuh tetap normal, yaitu dengan cara mengurangi konsumsi pakan, sehingga dapat menurunkan pertumbuhan. Lingkungan suhu yang panas hewan akan mengurangi kecepatan metabolisme dengan menurunkan konsumsi pakan. Penambahan panas dari metabolisme tubuhnya akan menyebabkan hipothamus merangsang pusat kenyang. Pada kondisi dingin, kegiatan makan akan berlangsung terus sampai saluran pencernaan penuh sesuai dengan kapasitasnya.  Dengan demikian suhu berpengaruh sangat nyata terhadap tingkah laku makan.


DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,T. dan Rachmat E. 1989. Pengaruh pemberian ransum starter terhadap pertambahan bobot badan anak ayam buras. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang.
Candrawati, D.P.M.A. 1999. “Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ayam Kampung Umur 0-8 minggu” (tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Gunawan. 2002. “Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya “. (disertasi). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Margawati, E.T. 1989. Efisiensi penggunaan ransum oleh ayam kampung janta dan betina pada periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. 28 Sept. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang. Hal. 127- 132.
National Research Council. 1984. Nutrients Requairement of Poultry. Eight Revised Ed. National Academy Press, Washington, D.C.
Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya.Jakarta
Sapuri, A. 2006. “Evaluasi Program Intensifikasi Penagkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang” (sekripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Sarwono, B. 1991. Beternak Ayam Buras. Cetakan ke 3. Penebar Swadaya, Jakarta
Scott, M. L., M.C, Nesheim and R.J.Young. 1982. Nutritions of The Chickens. Second Ed. M. L. Scott and Associates Ithaca, New York.
Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review Hasil Hasil Penelitian dan dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 September 2005. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 10 – 19.
Supraptini, M.S. 1985. “Pengkajian Sifat-Sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya dengan Rhode Island Red” (Disertasi) Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Sutama, S.I.N. 1991. “Pengaruh Berbagai Tingkat Energi dan Protein terhadap Performans Ayam kampung”. (tesis), Bogor. Instituti Pertanian Bogor
Sutardi,T. 1995. Landasan Ilmu Nutrisi, Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan , Institut Pertanian Bogor.
Zakaria, S. 2004a. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam buras yang dipelihara dengan system litter. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1); 1-11.
Zakaria, S. 2004b. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensif dan semi intensif dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 5 (1): 41 – 51.



MAKALAH BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM “ PENGGUNAAN LAMTORO PADA BAHAN PAKAN ”


MAKALAH
BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM
“ PENGGUNAAN LAMTORO PADA BAHAN PAKAN ”




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengupayakan suatu usaha peternakan perlu ditunjang oleh tiga faktor utama yaitu : pemuliabiakan ternak (Breeding), sistim pemberian makanan (Feeding) dan sistim tata-laksana (Management). Pertumbuhan badan hewan ternak akan sangat tergantung pada pakan dan proses pemberian makanannya. Contohnya adalah bahan baku apa saja yang digunakan serta kesesuaian dengan proporsi kebutuhan nutrisi ternaknya sendiri. Pemanfaatan berbagai hijauan lamtoro/petai cina yang diketahui memiliki kandungan protein tumbuhan dan berakar dalam. Masalahnya, lamtoro memiliki kandungan zat racun yaitu perontok bulu (mimosine). Oleh karena itu, pemberiannya kepada ternak harus diusahakan sesuai dengan proporsi kebutuhan, serta diberikan sebagai campuran bahan makanan ternak.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia adalah dengan pemberian pakan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Sejauh ini, pola pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas di daerah tropis. Dengan kata lain, problema utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik (Chen ,1990). Penyediaan pakan pada ternak ruminansia meliputi 2 (dua) aspek, yang pertama
adalah penyediaan sumber pakan yang bermutu baik untuk kebutuhan mikroba yang nantinya akan menguntungkan ternak ruminansia itu sendiri dan yang kedua adalah penyediaan pakan untuk kebutuhan ternak sapi itu sendiri. Dalam memenuhi kedua kebutuhan tersebut pada ternak ruminansia maka diperlukan beberapa pertimbangan dalam penyediaan pakannya (Sutardi, 1977).
Teknik pengeringan pakan merupakan salah satu upaya pengawetan pakan sederhana. Melalui upaya pengawetan dari produksi pakan yang berlebih ini, diharapkan kontinyuitas ketersediaan pakan dapat terjamin. Pengolahan hijauan pakan yang telah dikeringkan menjadi pakan komplit (complete feed) merupakan teknik penyediaan pakan ternak ruminansia yang paling praktis dan efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Pakan komplit kering merupakan pakan siap saji yang sesuai standar gizi ternak karena proporsi komponennya diformulasi sedemikianrupa untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak. Sementara ini, penelitian-penelitian tentang penggunaan pakan komplit dikonsentrasikan untuk tujuan penggemukan, sedangkan untuk kepentingan perbibibitan kurang mendapat
perhatian.
Lamtoro merupakan tananaman leguminosa yang mengandung gizi lebih baik dibandingkan dengan rumput lapangan, namun penggunaannya perlu dibatasi karena mengandung senyawa mimosin yang dapat memberikan efek negatif pada kulit.
Pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kecepatan pertumbuhan ternak (Tilman, 1981). Pertumbuhan ternak akan memberikan pengaruh terhadap kulit, karena kulit merupakan bagian dari tubuh ternak dan memiliki area yang paling luas. Cheeke ,(1968), menyatakanbahwa nutrisi menjadi masalah pembatas pada ternak penghasil fur. Hal yang sama dikemukakan Tancous , (1981), bahwa makanan sangat besar pengaruhnya terhadap sifat dan kualitas fisik kulit. Ternak yang mendapat makanan bergizi rendah akan menjadi relatif kecil dan kulitnyapun akan tipis dan kurang substansinya, sebaliknya ternak yang mendapat ransum bergizi tinggi, ukuran kulitnya relative luas dan substansinya lengkap. Pelt adalah pelt berikut bulunya yang telah ditanggalkan dari tubuh ternak. Kulit dari ternak yang mendapat pakan bergizi lengkap mempunyai serat yang lebih baik dibandingkan dengan ternak yang diberi pakan bergizi rendah (Judoamidjojo, 1981a) dan kulit yang lebih lebar (Rismunandar, 1990), tetapi meskipun demikian, ternak yang diberi pakan dengan gizi rendah mempunyai sifat yang baik yaitu kurangnya pada corium serta gambaran yang lebih halus (Judoamidjojo, 1981b).
Hijaun merupakan salah satu bahan pakan penyusun ransum, khususnya pakan untuk ternak herbivora. Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan legumenosa yang banyak dimanfaatkan untuk makanan ternak.. Heyne (1987) menyatakan bahwa lamtoro sangat berpotensi untuk pakan ternak, karena mempunyai percabangan yang kecil dan banyak serta daunnya sangat disenangi ternak ruminansia. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun lamtoro sekitar 70% (National Academy Press, 1984).
Lamtoro dapat dijadikan sebagai bahan penyusun ransom ternak kelinci, namun penggunaannya terbatas, karena mengandung senyawa mimosin yang dapat mengganggu fungsi biolig ternak ( D’Melo dan Acanovic,1988). Tidak normalnya fungsi biologik biasanya ditandai dengan rambut rontok, pertumbuhan lambat, dan pembengkakan kelenjar gondok (Siahaan, 1982). Pemberian lamtoro sebanyak 40% dalam ransum tidak memberikan efek keracunan minosine, tetapi tidak demikian halnya pada ternak yang bukan ruminansia tidak dapat diberikan lebih dari 5 sampai 10% daun lamtoro kering (Agency for International Development ,1982). Penelitian yang telah dilakukan bahwa lamtoro sebanyak 20% dapat diberikan pada babi muda dan tua, tetapi harus dicampur dengan 0,4% ferri sulfat (Agency for International Development, 1982). Balai Penelitian Ternak Bogor merekomendasikan bahwa pemberian lamtoro pada babi umur 3-4 bulan tidak melebihi 20%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada tingkatberapa persen daun lamtoro boleh digunakan dalam ransom yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi pelt dengan tingkat kerontokan yang kecil.
Oleh sebab itu pemberian lamtoro pada ternak merupakan suatu hal yang harus diteliti karena bisa saja penggunaan daun lamtoro dapat meningkatkan kualitas pakan ternak dan menjadikannya sebagai suatu pakan alternatif yang dapat diberikan peternak kita untuk meningkatkan produksi ternaknya. Untuk mengetahui bagaimana efek penggunaan lamtoro dan protein by-pass yang dihasilkan maka dilakukanlah penelitian tersebut dengan menggunakan metode in-vitro. Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk
mengevaluasi kecernaan lamtoro sebagai pakan sumber protein by-pass secara in-vitro. Hipotesis penelitian ini adalah dengan penggunaan level lamtoro yang semakin meningkat diharapkan memberikan hasil kecernaan protein by-pass yang lebih baik dari kontrol.

           
1.2 Tujuan
           
Adapun tujuan dari karya ilmiah kami ini mengenai manfaat lamtoro sebagai bahan pakan ternak yaitu untuk mengkonfirmasikan kegunaan pakan komplit dalam budidaya ternak, ini diharapkan dapat diaplikasikaan untuk pengembangan usahatani ternak Ikan,unggas dan ruminansia perbibitan berwawasan agibisnis. Dan untuk mengetahui seberapa persen lamtoro digunakan dalam ransumm yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi  dengan tujuan untuk mengevaluasi kecernaan lamtoro sebagai pakan, diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada pembaca dan sehingga dapat membantu masyarakat perikanan dan peternakan untuk dapat menghemat biaya produksi pakan.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang di peroleh dalam karya ilmiah mengenai manfaat lamtoro sebagai bahan pakan yaitu untuk mengetahui seberapa persen lamtoro digunakan dalam ransum yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi  dengan tujuan untuk mengevaluasi kecernaan lamtoro sebagai pakan, Dan dapat memberikan informasi kepada pembaca dan sehingga dapat membantu masyarakat perikanan dan peternakan untuk dapat menghemat biaya produksi pakan.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Seluk Beluk Keberadaan Lamtoro

            Sejak tahun 1970 dan awal 1980 lamtoro telah dikenal sebagai “pohon ajaib” karena berumur panjang, memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan memiliki bermacam-macam kegunaan diantaranya dapat digunakan untuk tanaman pakan ternak, kayu bakar, buahnya dapat diolah untuk panganan manusia, sebagai tanaman pencegah erosi dan lain sebagainya. Lamtoro sering disebut juga petai cina atau petai selong merupakan tanaman sejenis perdu dari suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan), yang sering digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Nama ilmiahnya, leucocephala (=berkepala putih) berasal dari kata leu artinya putih dan cephala artinya kepala, mengacu kepada bongkol-bongkol bunganya yang berwarna keputihan. Tumbuhan ini dikenal pula dengan sebutan yang lain seperti kemlandingan, mètir, lamtoro dan lamtoro gung      (=lamtoro besar; untuk varietas yang bertubuh lebih besar) (Jawa.); serta kalandhingan (Madura). Nama-namanya dalam pelbagai bahasa asing, di antaranya: petai belalang, petai jawa (Malaysia.); ipil-ipil, elena, kariskis (Filipina); krathin (Thailand); leucaena, white leadtree (Inggris.); dan leucaene, faux mimosa (Perancis.).
Persebaran lamtoro berasal dari Amerika tropis, tepatnya Meksiko dan Amerika Tengah. Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari sana ke Filipina pada akhir abad XVI dan dari tempat inilah lamtoro mulai menyebar luas ke pelbagai belahan dunia. Lamtoro mudah beradaptasi dan dengan cepat tanaman ini menjadi liar di berbagai daerah tropis di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain di Indonesia. Oleh sebab itu agaknya, maka tanaman ini di Malaysia dinamai petai jawa. Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-300), ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan laut dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kekeringan, tumbuh baik di wilayah dengan kisaran curah hujan antara 650-3000 mm (optimal 800-1500 mm) per tahun, akan tetapi termasuk tidak tahan penggenangan.
           
Klasifikasi Ilmiah Dari Lamtoro ,Yaitu :

Kerajaan          : Plantae
Divisi               : Magnaliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Ordo                : Fabales
Famili              : Fabaceae
Upafamili        : Mimosoideae
Genus              : Leucaena
Spesies            : L. Leucochepala
Nama binomial: Leucaena leucocephala
Sinonim           : Leucaena glauca, (Linn.) Benth
Mimosa glauca, Linn.
Acacia glauca, Willd.













 Ciri-ciri Lamtoro,yaitu :

Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae (Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun diperkenalkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain di Indonesia. Tanaman ini di Malaysia dinamai petai belalang.
Pohon atau perdu memiliki tinggi hingga 20m; meski kebanyakan hanya sekitar 2-10 m. Percabangannya rendah dan banyak, dengan pepagan berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.
Daunnya majemuk dan berbentuk menyirip rangkap, siripnya berjumlah 3-10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, bentuk segitiga. Anak daun tiap sirip 5-20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6-16(-21) mm × 1-2(-5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.
Bunganya majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12–21 mm, di atas tangkai sepanjang 2-5 cm. Bunga kecil-kecil, berbilangan-5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.
Buahnya polong berbentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14–26 cm × 2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya coklat kehijauan atau coklat tua apabila kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Buah lamtoro mengandung 15-30 biji yang terletak melintang dalam polongan, berbentuk bulat telur sungsang atau bundar telur terbalik, dengan warna coklat tua mengkilap yang berukuran 6–10 mm × 3-4,5 mm. Bijinya mirip petai, namun berukuran lebih kecil dan berpenampang lebih kecil.
Daun-daun dan ranting muda lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5–8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.
Ternak sapi dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa campuran rumput dan 20—30% lamtoro. Meskipun semua ternak menyukai lamtoro, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin dapat menyebabkan kerontokan rambut pada ternak non-ruminansia, seperti kuda dan babi, yang biasanya diberikan dalam bentuk segar. Selain itu, apabila sapi diberi lamtoro selama 6 bulan terus-menerus, maka si sapi yang bersangkutan akan mengalami kehilangan rambut, penurunan fertilitas (kesuburan), gangguan pada kelenjar tiroid, dan katarak. Mimosin, sejenis asam amino, terkandung pada daun-daun dan biji lamtoro hingga sebesar 4% berat kering. Pada ruminansia, mimosin ini diuraikan di dalam lambungnya oleh sejenis bakteria, Synergistes jonesii. Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat mengurangi toksisitas mimosin.
Pohon lamtoro memiliki ketinggian sekitar 10-20 m. Percabangan rendah, banyak dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-ranting bulat dengan ujung yang berambut rapat.






Gambar 2.1. Batang lamtoro
 

Daun majemuk menyirip rangkap, sirip 3—10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu
kecil, segitiga. Anak daun tiap sirip 5—20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6—16(—21) mm × 1—2(—5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.
 Gambar 2.2 Daun lamtoro

Bunga majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180
kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12—21 mm, di atas tangkai sepanjang 2—5 cm, Bunga kecil-kecil, berbilangan 5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.

 Gambar 2.3 Bunga Lamtoro

Buah polong bentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14—26 cm × 1.5—2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya coklat kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Berisi 15—30 biji yang terletak melintang dalam polongan, bundar telur terbalik, coklat tua mengkilap, 6—10 mm × 3—4.5 mm.
  Gambar 2.4 Buah Polong Lamtoro




2.1.1 Jumlah Jenis Lamtoro

Ada tiga jenis (subspesiesnya) yaitu :
1.      Leucaena leucocephala ssp. Leucocephala ialah anak jenis yang disebar luaskan oleh bangsa Spanyol. Di Jawa dikenal sebagai lamtoro atau petai cina local berbatang pendek sekitar 5 m tingginya dan pucuk rantingnya berambut lebat.
2.      Ssp. Glabrata (Rose) S. Zarate, dikenal sebagai lamtoro gung, tanaman ini berukuran besar segala-galanya (pohon, daun, bunga, buah) dibandingkan anak jenis yang pertama. Lamtoro gung baru menyebar luas di dunia dalam beberapa decade terakhir.
3.      Ssp. Ixtahuacana C.E yang menyebar terbatas di Meksiko dan Guatemala.

2.1.2 Cara Memperoleh Lamtoro

Tanaman lamtoro mudah diperbanyak dengan biji dan dengan pemindahan anakan. Karena mudahnya, lamtoro seringkali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini pun mudah tumbuh setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunastunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak. Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, tetapi lamtoro rentan terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana). Serangan hama ini di Indonesia di akhir tahun 1980an telah mengakibatkan habisnya jenis lamtoro”lokal‟ di banyak tempat.
Lamtoro merupakan salah satu jenis polongpolongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Tumbuhan ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3-10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok.
 Gambar 2.5 Cara Budidaya Lamtoro

2.1.3 Kendala Pemanfaatan Lamtoro Sebagai Bahan Pakan

Lamtoro termasuk hijauan yang bernilai gizi tinggi namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak pemberiannya perlu dibatasi . Lamtoro mengandung zat anti nutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut mimosin, yang dapat menimbulkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (Haryanto, 1993 dan Siregar, 1994). Ternak ruminansia yang mengkonsumsi pakan yang mengandung mimosin dalam dosis yang tinggi dapat menunjukkan gejala kehilangan/rontok bulu. Akan tetapi dengan bantuan mikroorganisme tertentu atau enzim, mimosin dapat dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (IH) pyridone (DHP) yang derajat keracunannya Iebih rendah. Mikroorganisme tersebut terdapat
dalam rumen ternak ruminansia Indonesia (Lowry, 1982 dan Haryanto, 1993), sedangkan enzim terdapat pada tanaman Iamtoro dewasa dan hampir terdapat pada semua bagian sel tanaman (Lowry, 1982) . Menurut Jones (1979) konsentrasi tertinggi terdapat pada tunas baru (12% bahan kering), kemudian biji (4-5% bahan kering) dan terendah pada ranting yang masih hijau (1-2% bahan kering) .
Zat anti nutrisi Iainya yang terkandung di dalam Iamtoro yaitu asam sianida (HCN) yang berpengaruh buruk karena dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar tiroid pada ternak. Asam sianida dapat menyebabkan keracunan akut (mematikan) dan keracunan kronis. Pada dosis rendah HCN yang masuk dalam tubuh ternak dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menurunkan kesehatan ternak . Selain itu Iamtoro juga mengandung tanin yang dapat menurunkan palatabilitas pakan clan penurunan kecernaan protein (Siregar, 1994). Namun menurut Jones (1979) dan Manurung (1996) adanya sejumlah tanin dalam Iamtoro dapat mencegah kembung dan melindungi degradasi protein yang berlebihan oleh mikroba rumen . Adanya zat anti nutrisi dalam hijauan Iamtoro tidak mengurangi nilai manfaatnya sebagai pakan hijauan yang berkualitas. Pencampuran hijauan ini ke dalam hijauan Iainnya adalah salah satu cara mengurangi resiko keracunan pada ternak ruminansia. Disamping itu proses pemanasan (pengeringan atau pelayuan) dapat meningkatkan pemecahan mimosin menjadi DHP yang kurang toksik (Tangendjaya dan Lowry, 1984). Menurut Lowry (1982 ) bahwa pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu antara 55-700C, bila Iebih tinggi dari 70°C menyebabkan terjadinya denaturasi enzim. Perendaman Iamtoro di dalam air panas pada suhu 60°C selama 3 menit dapat mengubah mimosin menjadi DHP hanya terjadi pada daun, sedangkan pada tangkai daun tidak terjadi penurunan .
Lamtoro mengandung mimosin sebesar 3-5% BK, juga mengandung zat anti nutrisi lain termasuk protease inhibitor, tannin dan galactomannan. Karena adanya mimosin ini penggunaan lamtoro dalam ransum non ruminansia sebesar 5-10% tanpa menimbulkan gejala toxicosis. Efek yang merugikan dari  mimosin yaitu menurunkan pertumbuhan dan menurunkan produksi telur. Ayam muda lebih sensitif dari pada ayam dewasa.

2.1.4 Cara Mengatasi Kendala

Lamtoro sebagai pakan ternak dapat juga diawetkan dengan cara silase dan pemberiannya kepada ternak dapat dicampur dengan bahan lain, misalnya jagung. Penelitian yang dilakukan Koestoto Subekti (Balitbang Mikrobiologi Puslitbang Biologi LIPI) bertujuan untuk mengetahui nilai gizi silase campuran limbah jagung dan daun lamtoro (100% limbah sagu 90% limbah jagung + 10% daun lamtoro, 80% limbah jagung + 20% daun lamtoro, 70% limbah jagung + 30% daun lamtoro, 60% limbah jagung + 40% daun lamtoro dan 50% limbah jagung + 50% daun lamtoro). Masing-masing perlakuan ditambah dengan 3% bahan pengawet (kontrol/tanpa penambahan apapun, tetes, onggok dan gula merah). Dari hasil penelitian didapatkan, semua perlakuan menghasilkan warna dan bau yang sama. Semua silase berwarna hijau kecoklatan dengan bau asam. Semua perlakuan tidak berlendir/basah dan tidak terdapat jamur.
Komposisi kimia zat makanannya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 % abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karotin 530.00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (NAS, 1984). Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber nitrogen fermentable di dalam rumen dan untuk mensuplai protein by-pass pada usus halus. Penggunaan lamtoro dalam bentuk  segar sebagai suplemen pada hijauan yang berkualitas rendah pada kambing menunjukkan bahwa kira-kira 65% dari protein lamtoro didegradasi dalam rumen, sementara diduga bahwa hanya 40% protein lamtoro yang didegradasi dalam rumen jika lamtoro kering digunakan sebagai suplemen pada makanan domba sama dengan ransum basal (Bamualim, 1985).
 Daun lamtoro dapat di  bentuk menjadi tepung dapat dipakai sebagai campuran pakan ikan dalam bentuk pellet (Sarasasti, 2009). Lamtoro merupakan sumber daya hayati yang potensial untuk digunakan sebagai pakan dengan dihasilkan limbah hijauan bernilai nutrisi yang cukup (Widiastuti, 2001). Komposisi kimia daun lamtoro, yaitu berat kering 97,8923%; protein kasar 23,8326%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 31,0509%, serat kasar 23,5877%, lemak 11,6858% dan abu 7,7353% (Unit Layanan Pemeriksaan Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan FKH UA, 2012).
Penggunaan 10 % daun lamtoro dalam ransumnyata (P<0,05) meningkatkan berat, luas dan tebal pelt, namun apabila penggunaan daun lamtoro ditingkatkan menjadi 20 % akan diikuti dengan penurunan berat, luas dan tebal pelt. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian daun lamtoro dapat meningkatkan produksi kulit apabila diberikan sebanyak 10 % dalam ransum.
Lamtoro sangat berpotensi digunakan untuk pakan ternak, karena mempunyai percabangan yang kecil dan banyak serta daunnya sangat disenangi ternak ruminansia (Heyne, 1987) Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai palatabilitas dan daya cerna yang tinggi. Palatabilitas yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan ternak kelinci sehingga akan dicapai berat potong yang tinggi Daya cerna daun lamtoro sekitar 70% (National Academy Press, 1984). Peningkatan bobot potong akan diikuti dengan perubahan ukuran tubuh yang menyebabkan bertambah lebar dan panjangnya kulit, sehingga akan diikuti dengan peningkatan berat kulit.
Produksi kulit terbaik pada pada pemberian 10 % daun lamtoro dalam ransum, hal ini disebabkan kelinci mempunyai lambung tunggal tidak seperti halnya ternak ruminansia yang mempunyai 4 lambung, namun kelinci mempunyai caecum yang meyerupai rumen yang dapat mencerna serat kasar dengan bantuan mikroba, sehingga ternak kelinci disebut pseudo ruminant. Menurut Agency for International Development (1982), bahwa pemberian lamtoro sebanyak 40 % pada ternak ruminansia tidak menimbulkan keracunan tetapi tidak demikian halnya pada ternak yang bukan ruminansia tidak dapat diberikan lebih dari 5 sampai 10% daun lamtoro kering.
Hasil uji kerontokkan bulu menunjukkan bahwa penggunaan daun lamtoro 10 % menyebabkan penurunan nilai skala hedonik, namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, penurunan nilai kerontokkan ini akan lebih besar lagi bila tepung daun lamtoro ditingkatkan menjadi 20 % dan nyata berbeda (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol, namun tidak demikian halnya pada produksi pelt, penggunaan 10 % daun lamtoro dalam ransum menyebabkan peningkatan berat, luas dan tebal pelt. Penurunan produksi pelt terjadi apabila daun lamtoro dalam ransum ditingkatkan menjadi 20 %, hal ini disebabkan terjadinya penurunan bobot potong. Hasil penelitian ini memperkuat pendapat D’Melo dan Acanovic (1988), bahwa penggunaan lamtora dalam ransum harus dibatasi, karena mengandung senyawa mimosin yang dapat mengganggu fungsi biologi ternak. Tidak normalnya fungsi biologik biasanya ditandai dengan rambut rontok, pertumbuhan lambat, dan pembengkakan kelenjar gondok (Siahaan, 1982).







2.1.5  Pemberian  Lamtoro Pada Ternak

Pemberian lamtoro sebanyak 40% dalam ransum tidak memberikan efek keracunan minosine, tetapi tidak demikian halnya pada ternak yang bukan ruminansia tidak dapat diberikan lebih dari 5 sampai 10% daun lamtoro kering (Agency for International Development ,1982). Penelitian yang telah dilakukan bahwa lamtoro sebanyak 20% dapat diberikan pada babi muda dan tua, tetapi harus dicampur dengan 0,4% ferri sulfat (Agency for International Development, 1982). Balai Penelitian Ternak Bogor merekomendasikan bahwa pemberian lamtoro pada babi umur 3-4 bulan tidak melebihi 20%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada tingkatberapa persen daun lamtoro boleh digunakan dalam ransom yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi pelt dengan tingkat kerontokan yang kecil.
Legume diberikan dalam bentuk hay, dengan pemberian 100% tanpa adanya pakan tambahan dan kadar bahan kering lamtoro sekitar 80-89%. Lamtoro didatangkan dari Pulau Sumbawa dengan kisaran harga Rp. 2.500 per kg. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa ternak-ternak yang diberikan legume tersebut rambutnya lebih mengkilat dan pertambahan bobot badannya lebih baik, bertolak belakang dengan yang diungkapkan dalam teori bahwa standar pemberian lamtoro hanya 40-60%. Hal ini karena mimosin akan aktif apabila legume diberikan dalam bentuk segar namun sebaliknya mimosin non aktif apabila legume diberikan dalam bentuk kering. Di Indonesia, menurut pengamatan hingga kini,belum ada laporan terjadinya keracunan atau efek negatif zat mimosin pada ternak yang diberi hijauan lamtoro. Namun selama pelaksanaan PKL dalam pemberian lamtoro bobot badannya lebih rendah dibandingkan dengan rumput raja. Salah satu penyebabnya yaitu dalam pemberian lamtoro masih terlalu banyak ranting-ranting yang sulit untuk dikonsumsi oleh ternak dan kualitas dari hay yang kurang bagus (lembab/apek) sehingga menyebabkan tingkat palabilitas pakannya menurun.
Dari hasil analisis statistik untuk keasaman (pH) silase menujukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kontrol dan 3 macam bahan pengawet, tetapi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan campuran limbah jagung dan daun lamtoro. Sedangkan rata-rata protein kasar dan lemak kasar  berbeda nyata (P<0,05) baik perlakuan campuran limbah-jagung dan daun lamtoro maupun perlakuan penambahan bahan pengawet, tetapi tidak ada interaksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa silase limbah jagung dapat dinaikkan nilai gizinya dengan menambahkan daun lamtoro, tetapi harus ditambah juga dengan bahan pengawet.
Lamtoro juga dapat diberikan untuk pakan ikan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan yang lebih tinggi daripada perlakuan lain dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam pakan.
Pemberian pakan tunggal pada ternak yang terdiri dari rumput-rumputan yang umumnya rendah kandungan nitrogennya tidak akan memenuhi kebutuhan zat-zat gizi minimal ternak, campuran rumput atau jerami dengan daun lamtoro sangat menguntungkan untuk memperbaiki nilai gizi yang rendah.
Pemberian pakan daun lamtoro dalam bentuk tepung dapat dipakai sebagai campuran pakan ikan dalam bentuk pellet (Sarasasti, 2009). Lamtoro merupakan sumber daya hayati yang potensial untuk digunakan sebagai pakan dengan dihasilkan limbah hijauan bernilai nutrisi yang cukup (Widiastuti, 2001). Komposisi kimia daun lamtoro, yaitu berat kering 97,8923%; protein kasar 23,8326%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 31,0509%, serat kasar 23,5877%, lemak 11,6858% dan abu 7,7353% (Unit Layanan Pemeriksaan Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan FKH UA, 2012).
Dari beberapa penelitian pemberian daun lamtoro sebagai campuran pada rumput atau jerami dapat memperbaiki nilai gizi ransum . Sitorus (1987) melaporkan bahwa penambahan hijauan Iamtoro segar sebanyak 0,5 kg pada ransum dasar domba dan kambing (ransum dasar terdiri dari 1,8 kg rumput gajah yang ditambah jerami padi yang diberikan secara bebas) menunjukkan adanya perbaikan dalam nilai konsumsi pakan bila dibandingkan dengan ternak yang hanya mendapat ransum dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Semali dan
Mathius (1984) menunjukkan bahwa pemberian daun lamtoro sebanyak 1 kg/hari merupakan jumlah pemberian yang optimal untuk pertumbuhan ternak domba muda .
Daun-daun dan ranting muda lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5–8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.
            Manfaat tanaman ini telah banyak dilaporkan, yakni sebagai tanaman pioner, pupuk hijau (penyubur tanah), bahan bangunan, tanaman pinggir jalan,sebagai tanaman pelindung (untuk tanaman cacao), pagar hidup, tanaman pendukung (untuk tanaman vanili dan merica), sebagai pembasmi tanaman herba lalang-alang), pencegah erosi,bahan baku pembuat kertas,bahan bakar dan sebagai sumber hijauan makanan ternakyang berprotein tinggi. Sebagai sumber hijauan makanan ternak, tanaman ini belum dimanfaatkan secara optimal. Demikian juga tanaman ini belum banyak dikomersialkan sebagai hijauan makanan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi hijauan tanaman lamtoro dapat mencapai 20 ton bahan kering/ha/tahun dengan total produksi protein kasar sebesar 3 ton/ha/tahun.


2.2 Kandungan Zat Makanan Dalam Lamtoro

Lamtoro merupakan tanaman leguminosa pohon yang punya potensi besar untuk dikembangkan sebagai penghasil hijauan makanan ternak sepanjang tahun. Tanaman ini dapat menghasilkan 70 ton hijauan segar atau sekitar 20 ton bahan kering/Ha/tahun. Komposisi kimia zat makanannya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 % abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karotin 530.00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (NAS, 1984).
Bila dilihat dari kandungan nutrisinya hijauan ini termasuk hijauan yang bernilai gizi cukup baik seperti terlihat pada Tabel berikut :

Tabel 1. Komposisi kimia hijauan lamtoro
Zat Makanan
 1)
2)
3*)
**)
Bahan Kering
,
,
29,10
35,67
Protein kasar
29,82
32,12
34,57
27,48
Lemak
5,24
3,55
2,23
2,97
Serat kasar
19,61
21,65
,
,
NDF
39,94
43,23
38,6
52,68
ADF
14,4
27,18
34,38
42,93
Hemiselulosa
,
,
4,22
9,55
Selulosa
9,14
17,14
,
,
Abu
6,12
6,47
4,85
4,93
Lignin
5,15
9,81
,
,
Kalsium
1,20
1,14
0,47
0,10
Fosfor
0,22
0,13
0,79
0,55

Sumber
1) dan 2) . Hasil Analisis laboratorium Proksimat, Balitnak
Bogor (tidak dipublikasi)
3). Toruan Mathius dan Suhendi (1991)
*) Daun lamtoro muda
**) Daun lamtoro tua

Pada Tabel tersebut terlihat bahwa, lamtoro mengandung protein, kalsium dan energi yang tinggi. Menurut Jones (1979) dan Haryanto (1993), daun lamtoro mengandung protein yang relatif rendah tingkat pemecahannya di dalam rumen sehingga merupakan sumber protein yang baik untuk ternak ruminansia . Kandungan proteinnya berkisar antara 25 - 32% dari bahan kering, sedangkan kalsium dan fosfomya berturutturut antara 1,9 - 3,2% dan 0,15 - 0,35% dari bahan kering (Askar et al ., 1997). Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan varitas, kesuburan tanah, umur panen (daun muda akan mengandung protein yang lebih tinggi daripada  daun tua) , iklim serta komposisi campuran daun dan tangkai daun . Kandungan mineral lainnya seperti Fe, Co dan Mn, menurut Mathius (1993) masih berada diambang batas yang tidak membahayakan untuk dijadikan pakan, sedangkan rendahnya kadar sodium dan iodium dapat diatasi dengan pemberian mineral lengkap yang dicampur dengan garam dapur (Jones, 1979) . Selanjutnya menurut Yates (1982) pemberian garam dapur yang dicampur mineral suplemen (yang mengandung unsur-unsur trace element seperti Cu, Fe, Mn, Zn, I, Co, Se, Mo, S, Ca, dan Na ) pada hijauan lamtoro untuk domba dapat meningkatkan bobot badan harian sebesar dua kali lipat .
Lamtoro memiliki potensi yang cukup tinggi dijadikan sebagai pakan ternak. mengingat kandungan nutrisi lamtoro cukup tinggi, terutama protein yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Adapun kandungan nutrisi dari lamtoro yaitu Protein kasar  32,12 %, lemak 3,55%, serat kasar 21,65%,NDF 43,23%, Kalsium 1,20%, fosfor 0,22%, dan Energi 4824 kalori/gram. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun lamtoro sekitar 70% .
Disamping itu lamtoro mengandung β karoten yang merupakan provitamin A. Sekalipun pada musim kering daun lamtoro tetap berwarna hijau berbeda dengan rumput yang pada musim kering menjadi kecoklatan (Jones,1979).
Tepung daun lamtoro gung merupakan sumberdaya hayati lokal yang dengan kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 25-30% (NAS, 1994) dan total karbohidrat (18,6%), gula tereduksi (4,2%), sukrosa oligosakarida (1,2%), rafinosa (0,6%), stacyosa (1,0%), oligosakarida total (2,8%) dan (1%) (Kale, 1987).
Keunggulan lamtoro yang lain yaitu memiliki ketahanan yang tinggi terhadap lahan kering misalnya di Nusa Tenggara Timur yang memiliki
curah hujan rendah. Tanaman lamtoro tidak berpotensi menjadi gulma sehingga dapat ditanam di sekitar lahan tanaman pangan misalnya pada sistem penanaman tiga strata yang menggabungkan interaksi tanaman pakan ternak dan tanaman pangan. Bahkan lamtoro dapat menjadi sumber hara nitrogen dan sebagai
tanaman konservasi tanah.


2.2.1 Penjelasan Dari Kandungan Zat Makanan pada Lamtoro

Lamtoro memiliki potensi yang cukup tinggi dijadikan sebagai pakan ternak. mengingat kandungan nutrisi lamtoro cukup tinggi, terutama protein yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Adapun kandungan nutrisi dari lamtoro yaitu Protein kasar  32,12 %, lemak 3,55%, serat kasar 21,65%,NDF 43,23%, Kalsium 1,20%, fosfor 0,22%, dan Energi 4824 kalori/gram. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun lamtoro sekitar 70% .
Dedyarso. 2000. Kadar air yang terdapat didalam bahan makanan akan menguap disebabkan oleh panas yang tersisa dimana dengan melakukan pengeringan secara alami dan secara buatan maka yang tertinggal hanyalah bahan keringnya saja. Tillman et al., (2004) mengatakan bahwa Sampel makanan ditimbang dan diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven dengan suhu 105ᵒC. Pemanasan berjalan hingga sampel tidak turun lagi beratnya. Setelah pemanasan tersebut sampel bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering dan penggunaanya dengan sampel disebut kadar air. Utomo (2005) mengatakan bahwa hijauan pakan segar berkadar air sangat tinggi, setelah dikeringkan 550C sampai beratnya tetap diperoleh bahan pakan dalam kondisi kering udara disebut juga berat kering, kering udara atau dry matter.
            Winarno (2000) mengatakan bahwa protein, karbohidrat, dan air merupakan kandungan utama dalam bahan pangan. Protein dibutuhkan terutama untuk pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi dalam aktivitas tubuh manusia, sedangkan garam-garam mineral dan vitamin juga merupakan faktor penting dalam kelangsungan hidup.  Protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, eksogen, sulfur, dan fosfor (Murtidjo, 2001).
Eszra (2006) mengatakan bahwa kandungan yang ada pada lemak kasar merupakan bukanlah lemak murni melainkan campuran dari beberapa zat yang terdiri dari klorofil, xantofil dan karoten. Pendapat ini sama dengan pendapat dari Yunus (2006) .
Serat kasar adalah bahan organik yang tidak larut dalam asam lemah dan basa lemah yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Tillman dkk., 1998). Serat kasar merupa-kan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan sebagai fraksi yang tersisa setelah didigesti dengan larutan asam sulfat standar dan sodium hidroksida pada kondisi yang terkontrol (Suparjo, 2010). Ceriman,T. 2001. Serat kasar didefinisikan sebagai bahan yang masih tertinggal setelah bahan pakan direbus dalam asam dan basa. Serat kasar mengandung fraksi-fraksi selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang dapat dikategorikan sebagai fraksi penyusun dinding sel tanaman. Definisi tersebut didasarkan pada nilai nutrisi dan serat kasar yang dapat dicerna oleh enzim – enzim yang dikeluarkan oleh saluran pencernaan mamalia maupun ternak nonruminansia.
Jadi , kesimpulannya adalah Lamtoro termasuk hijauan yang bernilai gizi tinggi namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak pemberiannya perlu dibatasi . Lamtoro mengandung zat anti nutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut mimosin, yang dapat menimbulkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama . Ternak ruminansia yang mengkonsumsi pakan yang mengandung mimosin dalam dosis yang tinggi dapat menunjukkan gejala kehilangan/rontok bulu. Akan tetapi dengan bantuan mikroorganisme tertentu atau enzim, mimosin dapat dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (IH) pyridone (DHP) yang derajat keracunannya Iebih rendah. Mikroorganisme tersebut terdapat dalam rumen ternak ruminansia Indonesia , sedangkan enzim terdapat pada tanaman Iamtoro dewasa dan hampir terdapat pada semua bagian sel tanaman .





DAFTAR PUSTAKA

Agency for International Development (AFID). 1982. Lamtoro gung (Leucaena leucocephala)- Tanaman Bahan Makanan Ternak yang Amat Baik. Technical Series Bulletin No. 25. Office of Agriculture Bureau for Science and Technology, Washington D.C. p. 1-8

Bamualim, A. 1985. Effect af Leucaena Fed as a suplement to ruminants an a low quality rouhage. Proc. Of the fifth Annual Workshop of Australia-Asia. Canberra.

Askar, S. dan Nina Marlina . 1997 . Komposisi kimia beberapa hijauan pakan. Erlangga. Jakarta.

Cheeke, P.R, N.M. Patton, and G.S. Templeton. 1968. Rabbit Production, Oregon State University, Oregon. P. 11-12, 129.

Chen, C. P. 1990. Management of forage for animal production under tree crops. in: proc. integrated tree croping and small ruminant production system. INIQUES L.C and M. D. SANCHEZ (Eds).SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Pp. 10 – 23.

Dedyarso. 2000. Protein asal ternak. PT. Bhratara Karya Aksara : Jakarta.

D’Mello, F and T. Acamovic. 1988. The Toxicity of Leucaena Leaf Meal for {oultry: A Critical Assesment of Recent Evidence Concerning The Mode of Action. Leucaena Research Reports Vol. 9 September 1998. Council of Agriculture, Nanhai Road, Taipei, Taiwan, Republic of China.p.97

Haryanto, B. dan A. Djajanegara. 1993 . Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia kecil . Sebelas Maret University Press. Hal 192-194.

Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kehutanan.p.885-887.

Jones, R.J. 1979. The value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants in tropics . World Anim . Rev ., No . 31 . Hal 13-23 .

Judoamidjojo, R.M. 1981a. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Jurusan Teknologi Industri. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. P. 4-9

Judoamidjojo, R.M. 1981b. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Cetakan Pertama. Angkasa, Bandung. P. 6-15

Lowry, J .B . 1982. Detoxification of leucaena by enzymatic or microbial processes . in Proc. Leucaena Research in the Asian-Pacific Region .

Manurung, T . 1996 . Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumberprotein ransum sapi potong. Jumal Ilmu Ternak dan Veteriner . 1(3) :143-147 .

Mathius, I. W. 1984. Hijauan gliricidia sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa. Pusat penelitian dan pengembangan Peternakan Vol 1 No.4 pp. 19 – 23.

Murtidjo, B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

N.A.S. (National Academy of Sciences). 1977. Leucaena: Promising Forage and Tree Crop for the Tropics. Washington, D.C.

Rismunandar. 1990. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci, Cetakan ke 9. Sinar Baru, Bandung. P.37

Siahaan, M.S. 1982. Lamtoro. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. 22-38

Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan Secara Kimiawi: Analisis Proksimat dan Analisis Serat. Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi. 7 hal.

Sutardi, T. 1977. Ketahanan protein makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi produktivitas ternak. Buletin Makanan Ternak. 5 : 1 - 21.

Tancous,J.J., W.T. Roddy, and F.0’Flaherty. 1981. Defek-defek pada Peltdan Kulit Samak. Diterjemahkan oleh R.M. Judoamidjojo. Bhatara

Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta