BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Mengupayakan suatu usaha peternakan perlu ditunjang
oleh tiga faktor utama yaitu : pemuliabiakan ternak (Breeding), sistim
pemberian makanan (Feeding) dan sistim tata-laksana (Management).
Pertumbuhan badan hewan ternak akan sangat tergantung pada pakan dan proses
pemberian makanannya. Contohnya adalah bahan baku apa saja yang digunakan serta
kesesuaian dengan proporsi kebutuhan nutrisi ternaknya sendiri. Pemanfaatan
berbagai hijauan lamtoro/petai cina yang diketahui memiliki kandungan protein
tumbuhan dan berakar dalam. Masalahnya, lamtoro memiliki kandungan zat racun
yaitu perontok bulu (mimosine). Oleh karena itu, pemberiannya kepada
ternak harus diusahakan sesuai dengan proporsi kebutuhan, serta diberikan
sebagai campuran bahan makanan ternak.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak
ruminansia adalah dengan pemberian pakan yang bermutu, baik dari segi kualitas
maupun segi kuantitas. Sejauh ini, pola pemberian pakan yang belum sesuai
dengan kebutuhan ternak, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat
produktivitas di daerah tropis. Dengan kata lain, problema utama upaya
peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang
berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik
(Chen ,1990). Penyediaan pakan pada ternak ruminansia meliputi 2 (dua) aspek,
yang pertama
adalah
penyediaan sumber pakan yang bermutu baik untuk kebutuhan mikroba yang nantinya
akan menguntungkan ternak ruminansia itu sendiri dan yang kedua adalah penyediaan
pakan untuk kebutuhan ternak sapi itu sendiri. Dalam memenuhi kedua kebutuhan
tersebut pada ternak ruminansia maka diperlukan beberapa pertimbangan dalam
penyediaan pakannya (Sutardi, 1977).
Teknik pengeringan pakan merupakan salah satu upaya
pengawetan pakan sederhana. Melalui upaya pengawetan dari produksi pakan yang
berlebih ini, diharapkan kontinyuitas ketersediaan pakan dapat terjamin.
Pengolahan hijauan pakan yang telah dikeringkan menjadi pakan komplit (complete
feed) merupakan teknik penyediaan pakan ternak ruminansia yang paling praktis
dan efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Pakan komplit kering merupakan pakan
siap saji yang sesuai standar gizi ternak karena proporsi komponennya
diformulasi sedemikianrupa untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak. Sementara
ini, penelitian-penelitian tentang penggunaan pakan komplit dikonsentrasikan
untuk tujuan penggemukan, sedangkan untuk kepentingan perbibibitan kurang
mendapat
perhatian.
Lamtoro merupakan tananaman leguminosa yang
mengandung gizi lebih baik dibandingkan dengan rumput lapangan, namun
penggunaannya perlu dibatasi karena mengandung senyawa mimosin yang dapat
memberikan efek negatif pada kulit.
Pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kecepatan pertumbuhan ternak (Tilman, 1981). Pertumbuhan ternak akan memberikan
pengaruh terhadap kulit, karena kulit merupakan bagian dari tubuh ternak dan
memiliki area yang paling luas. Cheeke ,(1968), menyatakanbahwa nutrisi
menjadi masalah pembatas pada ternak penghasil fur. Hal yang sama dikemukakan
Tancous , (1981), bahwa makanan sangat besar pengaruhnya terhadap sifat dan
kualitas fisik kulit. Ternak yang mendapat makanan bergizi rendah akan menjadi
relatif kecil dan kulitnyapun akan tipis dan kurang substansinya, sebaliknya ternak
yang mendapat ransum bergizi tinggi, ukuran kulitnya relative luas dan
substansinya lengkap. Pelt adalah pelt berikut bulunya yang telah ditanggalkan
dari tubuh ternak. Kulit dari ternak yang mendapat pakan bergizi lengkap mempunyai
serat yang lebih baik dibandingkan dengan ternak yang diberi pakan bergizi
rendah (Judoamidjojo, 1981a) dan kulit yang lebih lebar (Rismunandar, 1990),
tetapi meskipun demikian, ternak yang diberi pakan dengan gizi rendah mempunyai
sifat yang baik yaitu kurangnya pada corium serta gambaran yang lebih halus (Judoamidjojo,
1981b).
Hijaun merupakan salah satu bahan pakan penyusun
ransum, khususnya pakan untuk ternak herbivora. Lamtoro (Leucaena
leucocephala) merupakan legumenosa yang banyak dimanfaatkan untuk makanan
ternak.. Heyne (1987) menyatakan bahwa lamtoro sangat berpotensi untuk pakan
ternak, karena mempunyai percabangan yang kecil dan banyak serta daunnya sangat
disenangi ternak ruminansia. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro
mempunyai palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun
lamtoro sekitar 70% (National Academy Press, 1984).
Lamtoro dapat dijadikan sebagai bahan penyusun
ransom ternak kelinci, namun penggunaannya terbatas, karena mengandung senyawa
mimosin yang dapat mengganggu fungsi biolig ternak ( D’Melo dan Acanovic,1988).
Tidak normalnya fungsi biologik biasanya ditandai dengan rambut rontok,
pertumbuhan lambat, dan pembengkakan kelenjar gondok (Siahaan, 1982). Pemberian
lamtoro sebanyak 40% dalam ransum tidak memberikan efek keracunan minosine,
tetapi tidak demikian halnya pada ternak yang bukan ruminansia tidak dapat
diberikan lebih dari 5 sampai 10% daun lamtoro kering (Agency for International
Development ,1982). Penelitian yang telah dilakukan bahwa lamtoro sebanyak 20%
dapat diberikan pada babi muda dan tua, tetapi harus dicampur dengan 0,4% ferri
sulfat (Agency for International Development, 1982). Balai Penelitian Ternak
Bogor merekomendasikan bahwa pemberian lamtoro pada babi umur 3-4 bulan tidak
melebihi 20%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada tingkatberapa
persen daun lamtoro boleh digunakan dalam ransom yang memberikan hasil terbaik
terhadap produksi pelt dengan tingkat kerontokan yang kecil.
Oleh sebab itu pemberian lamtoro pada ternak
merupakan suatu hal yang harus diteliti karena bisa saja penggunaan daun
lamtoro dapat meningkatkan kualitas pakan ternak dan menjadikannya sebagai
suatu pakan alternatif yang dapat diberikan peternak kita untuk meningkatkan
produksi ternaknya. Untuk mengetahui bagaimana efek penggunaan lamtoro dan
protein by-pass yang dihasilkan maka dilakukanlah penelitian tersebut
dengan menggunakan metode in-vitro. Berdasarkan uraian diatas, dilakukan
penelitian ini dengan tujuan untuk
mengevaluasi
kecernaan lamtoro sebagai pakan sumber protein by-pass secara in-vitro. Hipotesis
penelitian ini adalah dengan penggunaan level lamtoro yang semakin meningkat
diharapkan memberikan hasil kecernaan protein by-pass yang lebih baik dari kontrol.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari karya ilmiah kami ini mengenai
manfaat lamtoro sebagai bahan pakan ternak yaitu untuk mengkonfirmasikan
kegunaan pakan komplit dalam budidaya ternak, ini diharapkan dapat diaplikasikaan
untuk pengembangan usahatani ternak Ikan,unggas dan ruminansia perbibitan
berwawasan agibisnis. Dan untuk mengetahui seberapa persen lamtoro digunakan
dalam ransumm yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi dengan tujuan untuk mengevaluasi kecernaan
lamtoro sebagai pakan, diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada
pembaca dan sehingga dapat membantu masyarakat perikanan dan peternakan untuk
dapat menghemat biaya produksi pakan.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang di peroleh dalam karya ilmiah
mengenai manfaat lamtoro sebagai bahan pakan yaitu untuk mengetahui seberapa persen lamtoro digunakan dalam ransum yang
memberikan hasil terbaik terhadap produksi dengan tujuan untuk mengevaluasi kecernaan
lamtoro sebagai pakan, Dan dapat memberikan informasi kepada pembaca dan sehingga
dapat membantu masyarakat perikanan dan peternakan untuk dapat menghemat biaya
produksi pakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Seluk Beluk Keberadaan Lamtoro
Sejak
tahun 1970 dan awal 1980 lamtoro telah dikenal sebagai “pohon ajaib” karena
berumur panjang, memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan memiliki bermacam-macam
kegunaan diantaranya dapat digunakan untuk tanaman pakan ternak, kayu bakar, buahnya
dapat diolah untuk panganan manusia, sebagai tanaman pencegah erosi dan lain
sebagainya. Lamtoro sering disebut juga petai cina atau petai selong merupakan
tanaman sejenis perdu dari suku Fabaceae (=Leguminosae,
polong-polongan), yang sering digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan
erosi. Nama ilmiahnya, leucocephala (=berkepala putih) berasal dari kata
leu artinya putih dan cephala artinya kepala, mengacu kepada
bongkol-bongkol bunganya yang berwarna keputihan. Tumbuhan ini dikenal pula
dengan sebutan yang lain seperti kemlandingan, mètir, lamtoro dan lamtoro
gung (=lamtoro besar; untuk
varietas yang bertubuh lebih besar) (Jawa.); serta kalandhingan (Madura).
Nama-namanya dalam pelbagai bahasa asing, di antaranya: petai belalang,
petai jawa (Malaysia.); ipil-ipil, elena, kariskis (Filipina); krathin
(Thailand); leucaena, white leadtree (Inggris.); dan leucaene,
faux mimosa (Perancis.).
Persebaran lamtoro berasal dari Amerika tropis,
tepatnya Meksiko dan Amerika Tengah. Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari
sana ke Filipina pada akhir abad XVI dan dari tempat inilah lamtoro mulai
menyebar luas ke pelbagai belahan dunia. Lamtoro mudah beradaptasi dan dengan
cepat tanaman ini menjadi liar di berbagai daerah tropis di Asia dan Afrika,
termasuk Indonesia. Tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan ke Jawa untuk
kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau
yang lain di Indonesia. Oleh sebab itu agaknya, maka tanaman ini di Malaysia
dinamai petai jawa. Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu
harian 25-300), ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan laut dapat menghambat
pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kekeringan, tumbuh baik di wilayah dengan
kisaran curah hujan antara 650-3000 mm (optimal 800-1500 mm) per tahun, akan
tetapi termasuk tidak tahan penggenangan.
Klasifikasi Ilmiah Dari Lamtoro ,Yaitu :
Kerajaan
:
Plantae
Divisi : Magnaliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili : Fabaceae
Upafamili : Mimosoideae
Genus : Leucaena
Spesies : L. Leucochepala
Nama
binomial: Leucaena leucocephala
Sinonim : Leucaena glauca, (Linn.)
Benth
Mimosa
glauca, Linn.
Acacia glauca,
Willd.
Ciri-ciri Lamtoro,yaitu :
Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae
(Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan
atau pencegahan erosi. Berasal
dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun
diperkenalkan ke Jawa untuk
kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau
yang lain di Indonesia. Tanaman
ini di Malaysia dinamai petai
belalang.
Pohon atau perdu memiliki tinggi hingga
20m; meski
kebanyakan hanya sekitar 2-10 m. Percabangannya rendah dan banyak, dengan pepagan
berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel.
Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.
Daunnya majemuk dan berbentuk menyirip
rangkap, siripnya berjumlah 3-10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros
daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, bentuk segitiga.
Anak daun tiap sirip 5-20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6-16(-21)
mm × 1-2(-5)
mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut
halus dan tepinya berjumbai.
Bunganya majemuk berupa bongkol bertangkai
panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6
bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola
berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12–21 mm, di atas tangkai
sepanjang 2-5 cm. Bunga
kecil-kecil, berbilangan-5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi
pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk.
5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.
Buahnya polong berbentuk pita lurus, pipih dan
tipis, 14–26 cm × 2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan
akhirnya coklat kehijauan atau coklat tua apabila kering jika masak, memecah
sendiri sepanjang kampuhnya. Buah lamtoro mengandung 15-30 biji yang terletak
melintang dalam polongan, berbentuk bulat telur sungsang atau bundar telur
terbalik, dengan warna coklat tua mengkilap yang berukuran 6–10 mm ×
3-4,5 mm. Bijinya mirip petai, namun
berukuran lebih kecil dan berpenampang lebih kecil.
Daun-daun dan ranting muda lamtoro
merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik,
khususnya bagi ruminansia. Daun-daun
ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di
antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang
ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam
jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5–8 m)
dengan rumput yang
ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.
Ternak sapi dan kambing
menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa
campuran rumput dan 20—30% lamtoro. Meskipun semua ternak menyukai lamtoro,
akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin dapat
menyebabkan kerontokan rambut pada ternak non-ruminansia, seperti kuda dan babi, yang biasanya diberikan dalam
bentuk segar. Selain itu, apabila sapi diberi lamtoro selama 6 bulan
terus-menerus, maka si sapi yang bersangkutan akan mengalami kehilangan rambut,
penurunan fertilitas
(kesuburan), gangguan pada kelenjar tiroid, dan katarak. Mimosin,
sejenis asam amino, terkandung
pada daun-daun dan biji lamtoro hingga sebesar 4% berat kering. Pada
ruminansia, mimosin ini diuraikan di dalam lambungnya oleh sejenis bakteria, Synergistes
jonesii. Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat
mengurangi toksisitas mimosin.
Pohon lamtoro memiliki ketinggian sekitar 10-20 m.
Percabangan rendah, banyak dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan,
berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-ranting bulat dengan ujung yang berambut
rapat.
Gambar 2.1. Batang lamtoro
Daun majemuk menyirip rangkap, sirip 3—10 pasang,
kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah;
daun penumpu
kecil,
segitiga. Anak daun tiap sirip 5—20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang,
6—16(—21) mm × 1—2(—5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak
sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.
Bunga majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang
berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari
100-180
kuntum
bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12—21 mm, di
atas tangkai sepanjang 2—5 cm, Bunga kecil-kecil, berbilangan 5; tabung kelopak
bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk. 5 mm,
lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.
Buah polong bentuk pita lurus, pipih dan tipis,
14—26 cm × 1.5—2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya
coklat kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Berisi 15—30
biji yang terletak melintang dalam polongan, bundar telur terbalik, coklat tua
mengkilap, 6—10 mm × 3—4.5 mm.
2.1.1 Jumlah Jenis Lamtoro
Ada
tiga jenis (subspesiesnya) yaitu :
1. Leucaena
leucocephala ssp. Leucocephala ialah anak jenis yang disebar luaskan oleh
bangsa Spanyol. Di Jawa dikenal sebagai lamtoro atau petai cina local berbatang
pendek sekitar 5 m tingginya dan pucuk rantingnya berambut lebat.
2. Ssp.
Glabrata (Rose) S. Zarate, dikenal sebagai lamtoro gung, tanaman ini berukuran
besar segala-galanya (pohon, daun, bunga, buah) dibandingkan anak jenis yang pertama.
Lamtoro gung baru menyebar luas di dunia dalam beberapa decade terakhir.
3. Ssp.
Ixtahuacana C.E yang menyebar terbatas di Meksiko dan Guatemala.
2.1.2 Cara Memperoleh Lamtoro
Tanaman lamtoro mudah diperbanyak dengan biji dan
dengan pemindahan anakan. Karena mudahnya, lamtoro seringkali merajalela menjadi
gulma. Tanaman ini pun mudah tumbuh setelah dipangkas, ditebang atau dibakar,
tunastunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak. Tidak banyak hama yang
menyerang tanaman ini, tetapi lamtoro rentan terhadap serangan hama kutu loncat
(Heteropsylla cubana). Serangan hama ini di Indonesia di akhir tahun 1980an
telah mengakibatkan habisnya jenis lamtoro”lokal‟ di banyak tempat.
Lamtoro merupakan salah satu jenis polongpolongan
serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani).
Tumbuhan ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3-10 m, di antara
larikan-larikan tanaman pokok.
2.1.3
Kendala Pemanfaatan Lamtoro Sebagai Bahan Pakan
Lamtoro termasuk hijauan yang bernilai gizi tinggi
namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak pemberiannya perlu dibatasi . Lamtoro
mengandung zat anti nutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut mimosin,
yang dapat menimbulkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi
dalam jumlah yang banyak dan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama
(Haryanto, 1993 dan Siregar, 1994). Ternak ruminansia yang mengkonsumsi pakan yang
mengandung mimosin dalam dosis yang tinggi dapat menunjukkan gejala kehilangan/rontok
bulu. Akan tetapi dengan bantuan mikroorganisme tertentu atau enzim, mimosin
dapat dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (IH) pyridone (DHP) yang derajat
keracunannya Iebih rendah. Mikroorganisme tersebut terdapat
dalam
rumen ternak ruminansia Indonesia (Lowry, 1982 dan Haryanto, 1993), sedangkan enzim
terdapat pada tanaman Iamtoro dewasa dan hampir terdapat pada semua bagian sel
tanaman (Lowry, 1982) . Menurut Jones (1979) konsentrasi tertinggi terdapat
pada tunas baru (12% bahan kering), kemudian biji (4-5% bahan kering) dan terendah
pada ranting yang masih hijau (1-2% bahan kering) .
Zat anti nutrisi Iainya yang terkandung di dalam
Iamtoro yaitu asam sianida (HCN) yang berpengaruh buruk karena dapat
menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar tiroid pada ternak. Asam sianida
dapat menyebabkan keracunan akut (mematikan) dan keracunan kronis. Pada dosis
rendah HCN yang masuk dalam tubuh ternak dalam jangka waktu yang cukup lama
dapat menurunkan kesehatan ternak . Selain itu Iamtoro juga mengandung tanin
yang dapat menurunkan palatabilitas pakan clan penurunan kecernaan protein
(Siregar, 1994). Namun menurut Jones (1979) dan Manurung (1996) adanya sejumlah
tanin dalam Iamtoro dapat mencegah kembung dan melindungi degradasi protein
yang berlebihan oleh mikroba rumen . Adanya zat anti nutrisi dalam hijauan
Iamtoro tidak mengurangi nilai manfaatnya sebagai pakan hijauan yang
berkualitas. Pencampuran hijauan ini ke dalam hijauan Iainnya adalah salah satu
cara mengurangi resiko keracunan pada ternak ruminansia. Disamping itu proses
pemanasan (pengeringan atau pelayuan) dapat meningkatkan pemecahan mimosin menjadi
DHP yang kurang toksik (Tangendjaya dan Lowry, 1984). Menurut Lowry (1982 )
bahwa pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu antara 55-700C, bila Iebih tinggi dari 70°C
menyebabkan terjadinya denaturasi enzim. Perendaman Iamtoro di dalam air panas
pada suhu 60°C selama 3 menit dapat mengubah mimosin menjadi DHP hanya terjadi
pada daun, sedangkan pada tangkai daun tidak terjadi penurunan .
Lamtoro mengandung mimosin sebesar 3-5% BK, juga
mengandung zat anti nutrisi lain termasuk protease inhibitor, tannin dan
galactomannan. Karena adanya mimosin ini penggunaan lamtoro dalam ransum non
ruminansia sebesar 5-10% tanpa menimbulkan gejala toxicosis. Efek yang
merugikan dari mimosin yaitu menurunkan
pertumbuhan dan menurunkan produksi telur. Ayam muda lebih sensitif dari pada
ayam dewasa.
2.1.4
Cara Mengatasi Kendala
Lamtoro sebagai pakan ternak dapat juga diawetkan
dengan cara silase dan pemberiannya kepada ternak dapat dicampur dengan bahan
lain, misalnya jagung. Penelitian yang dilakukan Koestoto Subekti (Balitbang
Mikrobiologi Puslitbang Biologi LIPI) bertujuan untuk mengetahui nilai gizi
silase campuran limbah jagung dan daun lamtoro (100% limbah sagu 90% limbah
jagung + 10% daun lamtoro, 80% limbah jagung + 20% daun lamtoro, 70% limbah
jagung + 30% daun lamtoro, 60% limbah jagung + 40% daun lamtoro dan 50% limbah
jagung + 50% daun lamtoro). Masing-masing perlakuan ditambah dengan 3% bahan
pengawet (kontrol/tanpa penambahan apapun, tetes, onggok dan gula merah). Dari
hasil penelitian didapatkan, semua perlakuan menghasilkan warna dan bau yang
sama. Semua silase berwarna hijau kecoklatan dengan bau asam. Semua perlakuan tidak
berlendir/basah dan tidak terdapat jamur.
Komposisi kimia zat makanannya dalam
bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 %
abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karotin 530.00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (NAS,
1984). Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber nitrogen fermentable di dalam
rumen dan untuk mensuplai protein by-pass pada usus halus. Penggunaan lamtoro
dalam bentuk segar sebagai suplemen pada
hijauan yang berkualitas rendah pada kambing menunjukkan bahwa kira-kira 65%
dari protein lamtoro didegradasi dalam rumen, sementara diduga bahwa hanya 40%
protein lamtoro yang didegradasi dalam rumen jika lamtoro kering digunakan sebagai
suplemen pada makanan domba sama dengan ransum basal (Bamualim, 1985).
Daun lamtoro dapat di bentuk menjadi tepung dapat dipakai sebagai
campuran pakan ikan dalam bentuk pellet (Sarasasti, 2009). Lamtoro merupakan
sumber daya hayati yang potensial untuk digunakan sebagai pakan dengan
dihasilkan limbah hijauan bernilai nutrisi yang cukup (Widiastuti, 2001). Komposisi
kimia daun lamtoro, yaitu berat kering 97,8923%; protein kasar 23,8326%, bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 31,0509%, serat kasar 23,5877%, lemak 11,6858%
dan abu 7,7353% (Unit Layanan Pemeriksaan Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan
FKH UA, 2012).
Penggunaan 10 % daun lamtoro dalam ransumnyata
(P<0,05) meningkatkan berat, luas dan tebal pelt, namun apabila penggunaan
daun lamtoro ditingkatkan menjadi 20 % akan diikuti dengan penurunan berat,
luas dan tebal pelt. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian daun lamtoro dapat
meningkatkan produksi kulit apabila diberikan sebanyak 10 % dalam ransum.
Lamtoro sangat berpotensi digunakan untuk pakan
ternak, karena mempunyai percabangan yang kecil dan banyak serta daunnya sangat
disenangi ternak ruminansia (Heyne, 1987) Menurut Siahaan (1982), bahwa daun
lamtoro mempunyai palatabilitas dan daya cerna yang tinggi. Palatabilitas yang
tinggi akan mempercepat pertumbuhan ternak kelinci sehingga akan dicapai berat
potong yang tinggi Daya cerna daun lamtoro sekitar 70% (National Academy Press,
1984). Peningkatan bobot potong akan diikuti dengan perubahan ukuran tubuh yang
menyebabkan bertambah lebar dan panjangnya kulit, sehingga akan diikuti dengan
peningkatan berat kulit.
Produksi kulit terbaik pada pada pemberian 10 % daun
lamtoro dalam ransum, hal ini disebabkan kelinci mempunyai lambung tunggal
tidak seperti halnya ternak ruminansia yang mempunyai 4 lambung, namun kelinci mempunyai
caecum yang meyerupai rumen yang dapat mencerna serat kasar dengan
bantuan mikroba, sehingga ternak kelinci disebut pseudo ruminant.
Menurut Agency for International Development (1982), bahwa pemberian lamtoro
sebanyak 40 % pada ternak ruminansia tidak menimbulkan keracunan tetapi tidak
demikian halnya pada ternak yang bukan ruminansia tidak dapat diberikan lebih
dari 5 sampai 10% daun lamtoro kering.
Hasil uji kerontokkan bulu menunjukkan bahwa
penggunaan daun lamtoro 10 % menyebabkan penurunan nilai skala hedonik, namun
tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, penurunan nilai kerontokkan
ini akan lebih besar lagi bila tepung daun lamtoro ditingkatkan menjadi 20 %
dan nyata berbeda (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol, namun tidak demikian
halnya pada produksi pelt, penggunaan 10 % daun lamtoro dalam ransum
menyebabkan peningkatan berat, luas dan tebal pelt. Penurunan produksi pelt
terjadi apabila daun lamtoro dalam ransum ditingkatkan menjadi 20 %, hal ini disebabkan
terjadinya penurunan bobot potong. Hasil penelitian ini memperkuat pendapat
D’Melo dan Acanovic (1988), bahwa penggunaan lamtora dalam ransum harus
dibatasi, karena mengandung senyawa mimosin yang dapat mengganggu fungsi
biologi ternak. Tidak normalnya fungsi biologik biasanya ditandai dengan rambut
rontok, pertumbuhan lambat, dan pembengkakan kelenjar gondok (Siahaan, 1982).
2.1.5 Pemberian
Lamtoro Pada Ternak
Pemberian lamtoro sebanyak 40% dalam ransum tidak
memberikan efek keracunan minosine, tetapi tidak demikian halnya pada ternak
yang bukan ruminansia tidak dapat diberikan lebih dari 5 sampai 10% daun lamtoro
kering (Agency for International Development ,1982). Penelitian yang telah
dilakukan bahwa lamtoro sebanyak 20% dapat diberikan pada babi muda dan tua,
tetapi harus dicampur dengan 0,4% ferri sulfat (Agency for International
Development, 1982). Balai Penelitian Ternak Bogor merekomendasikan bahwa
pemberian lamtoro pada babi umur 3-4 bulan tidak melebihi 20%. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian pada tingkatberapa persen daun lamtoro boleh
digunakan dalam ransom yang memberikan hasil terbaik terhadap produksi pelt dengan
tingkat kerontokan yang kecil.
Legume diberikan dalam bentuk hay, dengan
pemberian 100% tanpa adanya pakan tambahan dan kadar bahan kering lamtoro
sekitar 80-89%. Lamtoro didatangkan dari Pulau Sumbawa dengan kisaran harga Rp.
2.500 per kg. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa ternak-ternak yang
diberikan legume tersebut rambutnya lebih mengkilat dan pertambahan bobot
badannya lebih baik, bertolak belakang dengan yang diungkapkan dalam teori
bahwa standar pemberian lamtoro hanya 40-60%. Hal ini karena mimosin akan aktif
apabila legume diberikan dalam bentuk segar namun sebaliknya mimosin non aktif
apabila legume diberikan dalam bentuk kering. Di Indonesia, menurut pengamatan
hingga kini,belum ada laporan terjadinya keracunan atau efek negatif zat
mimosin pada ternak yang diberi hijauan lamtoro. Namun selama pelaksanaan PKL
dalam pemberian lamtoro bobot badannya lebih rendah dibandingkan dengan rumput
raja. Salah satu penyebabnya yaitu dalam pemberian lamtoro masih terlalu banyak
ranting-ranting yang sulit untuk dikonsumsi oleh ternak dan kualitas dari hay
yang kurang bagus (lembab/apek) sehingga menyebabkan tingkat palabilitas
pakannya menurun.
Dari hasil analisis statistik untuk keasaman (pH) silase
menujukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kontrol dan 3 macam bahan
pengawet, tetapi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan campuran limbah
jagung dan daun lamtoro. Sedangkan rata-rata protein kasar dan lemak kasar berbeda nyata (P<0,05) baik perlakuan
campuran limbah-jagung dan daun lamtoro maupun perlakuan penambahan bahan
pengawet, tetapi tidak ada interaksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
silase limbah jagung dapat dinaikkan nilai gizinya dengan menambahkan daun
lamtoro, tetapi harus ditambah juga dengan bahan pengawet.
Lamtoro juga dapat diberikan untuk pakan ikan. Hasil
penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung
daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju
pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan yang lebih tinggi daripada perlakuan lain
dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan
dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung
dalam pakan.
Pemberian pakan tunggal pada ternak yang terdiri
dari rumput-rumputan yang umumnya rendah kandungan nitrogennya tidak akan memenuhi
kebutuhan zat-zat gizi minimal ternak, campuran rumput atau jerami dengan daun lamtoro
sangat menguntungkan untuk memperbaiki nilai gizi yang rendah.
Pemberian pakan daun lamtoro
dalam bentuk tepung dapat dipakai sebagai campuran pakan ikan dalam bentuk
pellet (Sarasasti, 2009). Lamtoro merupakan sumber daya hayati yang potensial
untuk digunakan sebagai pakan dengan dihasilkan limbah hijauan bernilai nutrisi
yang cukup (Widiastuti, 2001). Komposisi kimia daun lamtoro, yaitu berat kering
97,8923%; protein kasar 23,8326%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 31,0509%,
serat kasar 23,5877%, lemak 11,6858% dan abu 7,7353% (Unit Layanan Pemeriksaan
Laboratoris Konsultasi dan Pelatihan FKH UA, 2012).
Dari beberapa penelitian pemberian daun lamtoro
sebagai campuran pada rumput atau jerami dapat memperbaiki nilai gizi ransum .
Sitorus (1987) melaporkan bahwa penambahan hijauan Iamtoro segar sebanyak 0,5
kg pada ransum dasar domba dan kambing (ransum dasar terdiri dari 1,8 kg rumput
gajah yang ditambah jerami padi yang diberikan secara bebas) menunjukkan adanya
perbaikan dalam nilai konsumsi pakan bila dibandingkan dengan ternak yang hanya
mendapat ransum dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Semali dan
Mathius
(1984) menunjukkan bahwa pemberian daun lamtoro sebanyak 1 kg/hari merupakan jumlah
pemberian yang optimal untuk pertumbuhan ternak domba muda .
Daun-daun dan ranting muda lamtoro
merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik,
khususnya bagi ruminansia. Daun-daun
ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di
antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang
ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam
jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5–8 m)
dengan rumput yang
ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.
Manfaat tanaman ini telah banyak
dilaporkan, yakni sebagai tanaman pioner, pupuk hijau (penyubur tanah), bahan
bangunan, tanaman pinggir jalan,sebagai tanaman pelindung (untuk tanaman
cacao), pagar hidup, tanaman pendukung (untuk tanaman vanili dan merica),
sebagai pembasmi tanaman herba lalang-alang), pencegah erosi,bahan baku pembuat
kertas,bahan bakar dan sebagai sumber hijauan makanan ternakyang berprotein
tinggi. Sebagai sumber hijauan makanan ternak, tanaman ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Demikian juga tanaman ini belum banyak dikomersialkan sebagai
hijauan makanan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi hijauan
tanaman lamtoro dapat mencapai 20 ton bahan kering/ha/tahun dengan total
produksi protein kasar sebesar 3 ton/ha/tahun.
2.2
Kandungan Zat Makanan Dalam Lamtoro
Lamtoro merupakan tanaman leguminosa pohon yang
punya potensi besar untuk dikembangkan sebagai penghasil hijauan makanan ternak
sepanjang tahun. Tanaman ini dapat menghasilkan 70 ton hijauan segar atau
sekitar 20 ton bahan kering/Ha/tahun. Komposisi kimia zat makanannya dalam
bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 %
abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karotin 530.00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (NAS,
1984).
Bila dilihat dari kandungan nutrisinya hijauan ini
termasuk hijauan yang bernilai gizi cukup baik seperti terlihat pada Tabel
berikut :
Tabel
1. Komposisi kimia hijauan lamtoro
Zat Makanan
|
1)
|
2)
|
3*)
|
**)
|
Bahan Kering
|
,
|
,
|
29,10
|
35,67
|
Protein kasar
|
29,82
|
32,12
|
34,57
|
27,48
|
Lemak
|
5,24
|
3,55
|
2,23
|
2,97
|
Serat kasar
|
19,61
|
21,65
|
,
|
,
|
NDF
|
39,94
|
43,23
|
38,6
|
52,68
|
ADF
|
14,4
|
27,18
|
34,38
|
42,93
|
Hemiselulosa
|
,
|
,
|
4,22
|
9,55
|
Selulosa
|
9,14
|
17,14
|
,
|
,
|
Abu
|
6,12
|
6,47
|
4,85
|
4,93
|
Lignin
|
5,15
|
9,81
|
,
|
,
|
Kalsium
|
1,20
|
1,14
|
0,47
|
0,10
|
Fosfor
|
0,22
|
0,13
|
0,79
|
0,55
|
Sumber
1)
dan 2) . Hasil Analisis laboratorium Proksimat, Balitnak
Bogor
(tidak dipublikasi)
3).
Toruan Mathius dan Suhendi (1991)
*)
Daun lamtoro muda
**)
Daun lamtoro tua
Pada Tabel tersebut
terlihat bahwa, lamtoro mengandung protein, kalsium dan energi yang tinggi.
Menurut Jones (1979) dan Haryanto (1993), daun lamtoro mengandung protein yang
relatif rendah tingkat pemecahannya di dalam rumen sehingga merupakan sumber
protein yang baik untuk ternak ruminansia . Kandungan proteinnya berkisar
antara 25 - 32% dari bahan kering, sedangkan kalsium dan fosfomya berturutturut
antara 1,9 - 3,2% dan 0,15 - 0,35% dari bahan kering (Askar et al ., 1997).
Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan varitas, kesuburan tanah, umur panen
(daun muda akan mengandung protein yang lebih tinggi daripada daun tua) , iklim serta komposisi campuran
daun dan tangkai daun . Kandungan mineral lainnya seperti Fe, Co dan Mn,
menurut Mathius (1993) masih berada diambang batas yang tidak membahayakan
untuk dijadikan pakan, sedangkan rendahnya kadar sodium dan iodium dapat
diatasi dengan pemberian mineral lengkap yang dicampur dengan garam dapur
(Jones, 1979) . Selanjutnya menurut Yates (1982) pemberian garam dapur yang
dicampur mineral suplemen (yang mengandung unsur-unsur trace element seperti Cu,
Fe, Mn, Zn, I, Co, Se, Mo, S, Ca, dan Na ) pada hijauan lamtoro untuk domba
dapat meningkatkan bobot badan harian sebesar dua kali lipat .
Lamtoro memiliki potensi yang cukup tinggi dijadikan sebagai pakan ternak.
mengingat kandungan nutrisi lamtoro cukup tinggi, terutama protein yang
merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Adapun kandungan nutrisi
dari lamtoro yaitu Protein kasar 32,12
%, lemak 3,55%, serat kasar 21,65%,NDF 43,23%, Kalsium 1,20%, fosfor 0,22%, dan
Energi 4824 kalori/gram. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai
palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun lamtoro
sekitar 70% .
Disamping itu lamtoro mengandung β karoten yang
merupakan provitamin A. Sekalipun pada musim kering daun lamtoro tetap berwarna
hijau berbeda dengan rumput yang pada musim kering menjadi kecoklatan
(Jones,1979).
Tepung daun lamtoro gung merupakan sumberdaya hayati
lokal yang dengan kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 25-30% (NAS, 1994) dan
total karbohidrat (18,6%), gula tereduksi (4,2%), sukrosa oligosakarida (1,2%),
rafinosa (0,6%), stacyosa (1,0%), oligosakarida total (2,8%) dan (1%) (Kale,
1987).
Keunggulan lamtoro yang lain yaitu memiliki ketahanan
yang tinggi terhadap lahan kering misalnya di Nusa Tenggara Timur yang memiliki
curah
hujan rendah. Tanaman lamtoro tidak berpotensi menjadi gulma sehingga dapat
ditanam di sekitar lahan tanaman pangan misalnya pada sistem penanaman tiga
strata yang menggabungkan interaksi tanaman pakan ternak dan tanaman pangan.
Bahkan lamtoro dapat menjadi sumber hara nitrogen dan sebagai
tanaman
konservasi tanah.
2.2.1 Penjelasan Dari Kandungan Zat
Makanan pada Lamtoro
Lamtoro memiliki potensi yang cukup tinggi dijadikan sebagai pakan ternak.
mengingat kandungan nutrisi lamtoro cukup tinggi, terutama protein yang
merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Adapun kandungan nutrisi
dari lamtoro yaitu Protein kasar 32,12
%, lemak 3,55%, serat kasar 21,65%,NDF 43,23%, Kalsium 1,20%, fosfor 0,22%, dan
Energi 4824 kalori/gram. Menurut Siahaan (1982), bahwa daun lamtoro mempunyai
palatabilitas yang tinggi dan daya cerna yang tinggi. Daya cerna daun lamtoro
sekitar 70% .
Dedyarso. 2000. Kadar air yang
terdapat didalam bahan makanan akan menguap disebabkan oleh panas yang tersisa
dimana dengan melakukan pengeringan secara alami dan secara buatan maka yang
tertinggal hanyalah bahan keringnya saja. Tillman et
al., (2004) mengatakan bahwa Sampel makanan ditimbang dan diletakkan dalam
cawan khusus dan dipanaskan dalam oven dengan suhu 105ᵒC. Pemanasan berjalan
hingga sampel tidak turun lagi beratnya. Setelah pemanasan tersebut sampel
bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering dan penggunaanya dengan sampel
disebut kadar air. Utomo (2005) mengatakan bahwa
hijauan pakan segar berkadar air sangat tinggi, setelah dikeringkan 550C sampai
beratnya tetap diperoleh bahan pakan dalam kondisi kering udara disebut juga
berat kering, kering udara atau dry matter.
Winarno
(2000) mengatakan bahwa protein, karbohidrat, dan air merupakan kandungan utama
dalam bahan pangan. Protein dibutuhkan terutama untuk pertumbuhan dan
memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber
energi dalam aktivitas tubuh manusia, sedangkan garam-garam mineral dan vitamin
juga merupakan faktor penting dalam kelangsungan hidup. Protein
adalah zat organik yang mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, eksogen, sulfur,
dan fosfor (Murtidjo, 2001).
Eszra (2006) mengatakan bahwa kandungan yang ada
pada lemak kasar merupakan bukanlah lemak murni melainkan campuran dari
beberapa zat yang terdiri dari klorofil, xantofil dan karoten. Pendapat ini sama
dengan pendapat dari Yunus (2006) .
Serat kasar adalah
bahan organik yang tidak larut dalam asam lemah dan basa lemah yang terdiri
dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Tillman dkk., 1998). Serat kasar
merupa-kan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan sebagai fraksi yang
tersisa setelah didigesti dengan larutan asam sulfat standar dan sodium
hidroksida pada kondisi yang terkontrol (Suparjo, 2010). Ceriman,T.
2001. Serat kasar didefinisikan sebagai
bahan yang masih tertinggal setelah bahan pakan direbus dalam asam dan basa.
Serat kasar mengandung fraksi-fraksi selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang
dapat dikategorikan sebagai fraksi penyusun dinding sel tanaman. Definisi
tersebut didasarkan pada nilai nutrisi dan serat kasar yang dapat dicerna oleh
enzim – enzim yang dikeluarkan oleh saluran pencernaan mamalia maupun ternak
nonruminansia.
Jadi , kesimpulannya adalah Lamtoro termasuk hijauan
yang bernilai gizi tinggi namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak
pemberiannya perlu dibatasi . Lamtoro mengandung zat anti nutrisi yaitu asam
amino non protein yang disebut mimosin, yang dapat menimbulkan keracunan
atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan terus
menerus dalam jangka waktu yang cukup lama . Ternak ruminansia yang
mengkonsumsi pakan yang mengandung mimosin dalam dosis yang tinggi dapat
menunjukkan gejala kehilangan/rontok bulu. Akan tetapi dengan bantuan mikroorganisme
tertentu atau enzim, mimosin dapat dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (IH) pyridone
(DHP) yang derajat keracunannya Iebih rendah. Mikroorganisme tersebut terdapat dalam
rumen ternak ruminansia Indonesia , sedangkan enzim terdapat pada tanaman Iamtoro
dewasa dan hampir terdapat pada semua bagian sel tanaman .
DAFTAR
PUSTAKA
Agency
for International Development (AFID). 1982. Lamtoro gung (Leucaena
leucocephala)- Tanaman Bahan Makanan Ternak yang Amat Baik. Technical Series
Bulletin No. 25. Office of Agriculture Bureau for Science and Technology,
Washington D.C. p. 1-8
Bamualim,
A. 1985. Effect af Leucaena Fed as a suplement to ruminants an a low quality
rouhage. Proc. Of the fifth Annual Workshop of Australia-Asia. Canberra.
Askar,
S. dan Nina Marlina . 1997 . Komposisi
kimia beberapa hijauan pakan. Erlangga. Jakarta.
Cheeke,
P.R, N.M. Patton, and G.S. Templeton. 1968. Rabbit Production, Oregon State
University, Oregon. P. 11-12, 129.
Chen,
C. P. 1990. Management of forage for animal production under tree crops. in:
proc. integrated tree croping and small ruminant production system. INIQUES L.C
and M. D. SANCHEZ (Eds).SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Pp. 10 – 23.
Dedyarso. 2000. Protein asal ternak. PT. Bhratara
Karya Aksara : Jakarta.
D’Mello,
F and T. Acamovic. 1988. The Toxicity of Leucaena Leaf Meal for {oultry: A
Critical Assesment of Recent Evidence Concerning The Mode of Action. Leucaena
Research Reports Vol. 9 September 1998. Council of Agriculture, Nanhai Road,
Taipei, Taiwan, Republic of China.p.97
Haryanto,
B. dan A. Djajanegara. 1993 . Pemenuhan
kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia kecil . Sebelas Maret
University Press. Hal 192-194.
Heyne,K.
1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid
II. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kehutanan.p.885-887.
Jones,
R.J. 1979. The value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants in
tropics . World Anim . Rev ., No . 31 . Hal 13-23 .
Judoamidjojo,
R.M. 1981a. Dasar Teknologi dan Kimia
Kulit. Jurusan Teknologi Industri. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. P. 4-9
Judoamidjojo,
R.M. 1981b. Teknik Penyamakan Kulit untuk
Pedesaan. Cetakan Pertama. Angkasa, Bandung. P. 6-15
Lowry,
J .B . 1982. Detoxification of leucaena by enzymatic or microbial processes .
in Proc. Leucaena Research in the Asian-Pacific Region .
Manurung,
T . 1996 . Penggunaan hijauan leguminosa
pohon sebagai sumberprotein ransum sapi potong. Jumal Ilmu Ternak dan
Veteriner . 1(3) :143-147 .
Mathius,
I. W. 1984. Hijauan gliricidia sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa. Pusat
penelitian dan pengembangan Peternakan Vol 1 No.4 pp. 19 – 23.
Murtidjo,
B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
N.A.S.
(National Academy of Sciences). 1977. Leucaena: Promising Forage and Tree Crop for
the Tropics. Washington, D.C.
Rismunandar.
1990. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci, Cetakan ke 9.
Sinar Baru, Bandung. P.37
Siahaan,
M.S. 1982. Lamtoro. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. 22-38
Suparjo.
2010. Analisis Bahan Pakan Secara Kimiawi: Analisis Proksimat dan Analisis
Serat. Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi. 7
hal.
Sutardi, T. 1977. Ketahanan protein makanan terhadap degradasi
oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi produktivitas ternak. Buletin Makanan
Ternak. 5 : 1 - 21.
Tancous,J.J.,
W.T. Roddy, and F.0’Flaherty. 1981. Defek-defek pada Peltdan Kulit Samak. Diterjemahkan
oleh R.M. Judoamidjojo. Bhatara
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta